Karkas merupakan bagian tubuh ayam setelah dilakukan penyembelihan secara halal sesuai dengan CAC/GL 24-1997 General Guideline for use of the term “halal”, pencabutan bulu dan pengeluaran jeroan, tanpa kepala, leher, kaki, paru-paru, dan atau ginjal, dapat berupa karkas segar, karkas segar dingin, atau karkas beku. Standar penentuan mutu karkas dan daging ayam telah disusun oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang tertuang dalam SNI 3924:2009 tentang mutu karkas dan daging ayam.
Karkas ayam diklasifikasikan berdasarkan umur dan bobot karkas. Berdasarkan umur ayam dibagi menjadi 3 (tiga) kategori umur yaitu 1) < 6 minggu atau ayam muda (fryer/broiler), 2) 6 minggu sampai dengan 12 minggu atau ayam dewasa (roaster), dan 3) > 12 minggu atau ayam tua (stew). Selanjutnya berdasarkan bobot karkas dibagi menjadi 3 (tiga) jenis ukuran yaitu 1) <1,0 kg atau ukuran kecil, 2) 1,0 kg sampai dengan 1,3 kg atau ukuran sedang, dan 3) >1,3 kg atau ukuran besar.
Persyaratan mutu karkas ayam ditentukan berdasarkan fisik dan mikrobiologis. Secara fisik, mutu karkas ayam dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Persyaratan tingkatan mutu fisik karkas ayam
ada sedikit kelainan pada tulang dada atau paha
ada kelainan pada tulang dada dan paha
tulang utuh, kulit sobek sedikit, tetapi tidakpada bagian dada
tulang ada yang patah, ujung sayap terlepas ada kulit yang sobek pada bagian dada
Bebas dari memar dan atau “freeze burn”
ada memar sedikit tetapi tidak pada bagian dada dan tidak “freeze burn”
ada memar sedikit tetapi tidak ada “freeze burn”
Bebas dari bulu tunas (pin feather)
ada bulu tunas sedikit yang menyebar, tetapi tidak pada bagian dada
Persyaratan mutu mikrobiologis dari karkas ayam dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2 Syarat mutu mikrobiologis
Staphylococcus aureus
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam penentuan mutu karkas daging ayam adalah pelabelan pada kemasan ayam. Terdapat standar informasi yang harus terdapat dalam label kemasan primer minimal mencantumkan 1) nama produk, 2) merk dagang, 3) NKV, dan 4) label halal. Sementara itu pada label kemasan sekunder minimal mencantumkan 1) nama produk, 2) merk dagang, 3) tanggal produksi, 4) nama dan alamat produsen, 5) berat bersih, 6) NKV, 7) label hala, dan 8) cara penyimpanan. Penyimpanan karkas atau daging ayam dapat dilakukan dalam bentuk segar, segar dingin, atau beku di ruangan atau tempat sesuai dengan karakteristik produk.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Kelapa ukuran sedang, parut, Daging Sapi, rebus, iris tipis, Air Kaldu Daging, air kelapa, Gula merah/gula Jawa (sesuaikan bisa dikurangin jadi 100 gr bila tidak suka manis), bawang merah, bawang putih, cabai merah besar, ketumbar, daun jeruk, jintan, lengkuas
HUKUM MAKAN DAGING BUAYA
Pertanyaan. Buaya itu halal atau haram ?
Jawaban. Mengenai hukum memakan daging buaya, telah ada fatwa dari Komite Tetap Untuk Riset ilmiyah dan fatwa, kerajaan Saudi Arabia no. 5394[1] yang ditanda tangani oleh Ketua komite tersebut Syaikh Abdulaziz bin Abdillah bin Bâz rahimahullah dan dua Ulama sebagai anggotanya yaitu syaikh Abdurrazaq afifi rahimahullah dan syaikh Abdullah bin Qu’ud –Hafizhahullâhu ta’ala-.
Fatwa tersebut disampaikan berkenaan dengan pertanyaan yang disampaikan kepada komite berkenaaan dengan halalkah memakan hewan-hewan berikut: Penyu, kuda laut, buaya dan landak, ataukah semua ini haram?
Mereka menjawab, “Memakan landak hukumnya halal, berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Katakanlah, “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allâh. [al-An’âm/6:145]
Juga karena kaidah pada asalnya diperbolehkan sampai pasti ada yang memalingkan hukum tersebut.
Adapun penyu (kura-kura), sejumlah Ulama berpendapat bahwa boleh mengkonsumsi binatang ini walaupun tanpa disembelih, berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut [al-Mâ’idah/5:96]
Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang air laut:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Airnya suci dan bangkainya halal.
Namun yang lebih selamat adalah tetap disembelih, agar keluar dari khilaf.
Sedangkan buaya ada yang berpendapat boleh dimakan seperti ikan berdasarkan keumuman ayat dan hadits diatas. Ada juga yang menyatakan haram dimakan, karena termasuk hewan buas yang bertaring. Yang rajih adalah pendapat pertama.
Adapun kuda laut maka boleh dimakan karena masuk keumuman ayat dan hadits di atas dan tidak adanya dalil yang menentangnya. Juga karena kuda darat halal dimakan dengan nash maka tentunya kuda laut lebih pantas lagi dihalalkan.
Wabillâhit Taufîq wa Shallallâhu ‘ala Nabiyyinâ Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa sallam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] ________ Footnote [1] Fatâwa Lajnatid Dâimah Lil Buhûtsil ‘Ilmiyyah wal Iftâ, 22/319
APAKAH KEPITING HALAL?
Pertanyaan. Mohon penjelasan, dahulu yang saya ketahui kepiting itu haram. Tetapi sekarang ada beberapa tayangan TV menerangkan bahwa kepiting itu halal. Syukran.
Jawaban Sebagai seorang mukmin, kita wajib meyakini bahwa yang berhak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. [al A’raf7:54].
Oleh karena itu, Allah melarang manusia menghalalkan dan mengharamkan tanpa dalil dari al Kitab dan as-Sunnah. Dan jika hal itu terjadi berarti termasuk membuat kedustaan atas nama Allah. Disebutkan dalam firman-Nya:
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. [an-Nahl/16:116].
Dalam masalah makanan, hukum asal seluruh makanan yang ada di muka bumi ini adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. [al Baqarah/2:29].
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. [al Baqarah/2:168].
Dengan demikian, seseorang tidak boleh mengharamkan makanan, kecuali yang telah diharamkan oleh Allah di dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya, sesuai tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu menyampaikan apa yang Allah perintahkan untuk disampaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?” [Yunus/10:59].
Setelah mengetahui kaidah ini, maka adakah keterangan di dalam al Kitab atau as-Sunnah yang mengharamkan kepiting?
Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada ayat maupun hadits yang mengharamkan kepiting. Di sebagian sekolah dan buku-buku diajarkan, bahwa binatang yang hidup di dua alam, yakni daratan dan lautan, itu haram. Mungkin dari sinilah sebagian orang beranggapan jika kepiting itu haram. Seseorang yang beranggapan demikian, maka perlu menunjukkan dalil bahwa binatang yang hidup di dua alam, yakni daratan dan lautan, itu haram. Jika jelas tidak ada dalilnya, maka hal itu kembali kepada kaidah, yaitu bahwa seluruh makanan itu halal kecuali yang diharamkan oleh Allah di dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.
Adapun berita saudara “tetapi sekarang ada beberapa tayangan TV menerangkan bahwa kepiting itu halal”, maka perlu kami jelaskan, bahwa sesuatu yang haram menurut nash syari’at pada zaman dahulu, tidaklah bisa menjadi halal pada zaman sekarang. Karena yang menentukan halal dan haram itu adalah Allah Azza wa Jalla , bukan waktu. Memang makanan yang Allah haramkan itu bisa menjadi halal dalam keadaan terpaksa, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al Baqarah/2:173].
Demikian jawaban kami.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
HALALKAH IKAN HIU?[1]
Pertanyaan Halal atau haramkah mengkonsumsi ikan Hiu ?
Jawaban. Semua jenis ikan halal dikonsumsi, baik ikan hiu atau yang lainnya, berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla.
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut [al-Mâidah/5:96]
dan berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang laut :
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
air laut itu suci dan bangkai binatangnya halal
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
al-Lajnatud Dâimah lil Buhûtsil ‘ilmiyyah Wal Iftâ’ Ketua : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz Anggota : Syaikh Abdullâh bin Ghadyân, Syaikh Shâlih Fauzân, Syaikh Abdul Azîz Alu Syaikh dan Syaik Bakr Abu Zaid
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1430H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Diterjemahkan dari Fatâwâ al-Lajnatid Dâimah lil Buhûtsil ‘ilmiyyah Wal Iftâ‘, 22/320
“Alhamdulillah, aku ga terlalu suka manis mba jd ku kurangin gula merahnya, ku tambahin cabenya, duh mantep bgt rasanya”
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari
Naila Fauza Hayati, NFH
D3 Farmasi, STIKES Borneo Lestari
Abstract : ABSTRAK Hutan Kalimantan merupakan kekayaan diatas permukaan bumi yang sangat berharga. Ada banyak tanaman serta buah-buahan yang khas dari hutan belantara Kalimantan. Banyak jenis tumbuhan di Kalimantan yang dapat di jadikan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit. Salah satu tumbuhan berkhasiat itu adalah Kalangkala. Kalangkala (Litsea angulata) merupakan salah satu spesies dari genus Litsea yang termasuk kedalam family Lauraceae. Buah Kalangkala ini merupakan salah satu buah yang menjadi kekayaan alam bumi Kalimantan yang termasuk buah langka. Sebagian masyarakat Kalimantan Selatan menggunakan biji buah kalangkala secara tradisional untuk mengobati bisul. Telah dilakukan penelitian tentang skrining fitokimia pada kulit dan daging buah kalangkala (Litsea angulata). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia kulit dan daging buah kalangkala. Hal yang berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi. Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Kandungan kimia yang diuji pada penelitian ini adalah alkaloid, triterpenoid, steroid, flavonoid, tanin dan saponin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kalangkala mengandung komponen kimia yakni alkaloid. Kata kunci : Kulit dan daging buah kalangkala (Litsea angulata), Skrining fitokimia, Ekstrak etanol 95%.
Diasuh oleh: Dr.K.H. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs.H. Sholahudin Al-Aiyub, M.Si. (Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat dan anggota Komisi Fatwa MUI Pusat).
Assalamu’alaikum warahmatullah
Kami merasa bingung dan bimbang tentang kehalalan konsumsi ikan Hiu. Karena sebagaimana diketahui, ikan hiu itu termasuk hewan yang bertaring, buas dan ganas. Bahkan diberitakan pernah terjadi, ada orang yang dimangsa ikan hiu ketika berenang di laut. Selain itu, kami juga mendapat informasi keagamaan, ada nash atau hadits yang melarang kita memakan hewan yang bertaring, buas dan memangsa.
Maka dengan ini saya meminta penjelasan kepada pa Ustadz, bagaimana hukum memakan ikan hiu yang jelas-jelas buas dan ganas serta bertaring itu? Atas jawaban dan penjelasan dari bapak Ustadz, saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya. Wal-hamdulillahi robbil ‘alamin.
Memang ada Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda, “Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (H.R. Muslim). Dalam Hadits dari Abi Tsa’labah, disebutkan pula, “Rasulullah saw melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits yang lain dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah saw melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (H.R. Muslim).
Namun para ulama menjelaskan, kalau dilihat teks haditsnya, dan Asbabul Wurud hadits yang menjelaskan masalah binatang buas tersebut,maka itu berlaku terbatas hanya bagi binatang darat. Tidak termasuk binatang air/laut atau ikan atau hewan laut. Sehingga para ulama pun memahami demikian. Karena untuk kasus hewan laut, ada dalil/nash lain yang bersifat Lex Specialis, sebagai ketentuan khusus, yang menyatakan kehalalan mengkonsumsi binatang laut.
Dalam kaidah Kaidah Fiqhiyyah disebutkan satu ungkapan, “Maa min ‘aammin illa lahu khossh”. Setiap ketentuan yang bersifat umum, maka ada ketentuan khususnya. Dan ketentuankhusus itu bersifat Qoth’i, menjadi dalil yang kuat.
Apalagi di dalam Al-Quran disebutkan, sebagai dalil yang pasti, Allah berfirman yang artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (Q.S. Al-Maidah: 96)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan, “Seseorang pernah menanyakan pada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah saw lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (H.R. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda, “Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (H.R. Ibnu Majah).
Dalam perkatan yang masyhur dari Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud “shoidul bahr” dalam ayat di atas adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup, sedangkan yang dimaksud “tho’amuhu” adalah bangkai hewan air. Yang dimaksud bangkai hewan air adalah yang mati begitu saja, tanpa diketahui sebabnya.
Ibnu Hajar Al-Asqolani mengatakan, “Tidak ada perselisihan para ulama bahwa ikan adalah jenis binatang yang dihalalkan. Yang terdapat perselisihan di antara mereka adalah hewan air yang memiliki bentuk yang sama dengan hewan darat seperti manusia, anjing, babi dan ular.”
Dari ayat dan hadits tersebut di atas, menunjukkan dan menjadi dalil bahwa binatang laut itu halal dikonsumsi. Kalaupun ada perbedaan pendapat, seperti dalam hal anjing laut atau babi laut, maka itu relatif tidak signifikan karena Jumhur Ulama sepakat berpendapat, hewan laut itu halal. Yakni dengan ciri-ciri, hewan yang hidup dan berkembang-biak di laut, bernafas dengan insang.
Maka para ulama sepakat, semua jenis ikan laut itu hukumnya halal untuk dikonsumsi, kecuali yang menimbulkan Mudhorot atau berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan ketentuan ini, maka apakah hewan laut itu ganas, atau buas, atau berbentuk seperti anjing laut, babi laut, maka secara umum, itu semua halal hukumnya untuk dikonsumsi.
Meskipun demikian, memang ada pendapat yang menyatakan kalau ikan laut itu berbentuk babi, maka hukumnya tidak boleh. Namun itu hanya sebagai pendapat atau hasil ijtihad yang tidak didukung dengan nash atau dalil yang jelas dan shohih.
Wallahu a’lam bimurodih, wal-hamdulillahi robbil ‘alamin.